BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aceh adalah sebuah
provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan
merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh.
Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan
Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara
dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia
dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal
abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di
kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan
penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda
dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya,
Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).
Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka
hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di
Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
1.2. Rumusan Masalah
1. Darimana asal nama Aceh?
2. Bagaimana
sistem pemerintahan local Aceh?
3. Dimana letak Geografis Provinsi
Aceh?
4. Lembaga
adat apasaja yang ada di Provinsi Aceh?
5. Apa sumber
mata pencaharian masyarakat Provinsi Aceh?
6. Bagaimana
adat istiadat di provinsi Aceh
7. Apasaja
lembaga-lembaga pelaksana Syariat Islam di Aceh?
1.3. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui asal nama Aceh.
2. Mahasiswa
mengetahui sistem kepemerintahannya.
3. Mahasiswa mengetahui letak Geografis Provinsi Aceh.
4. Mahasiswa
mengetahui Lembaga adat yang ada di Provinsi Aceh.
5. Mahasiswa
mengetahui sumber mata pencaharian masyarakat Provinsi Aceh.
6. Mahasiswa
mengetahui adat istiadat provinsi Aceh.
7. Mahasiswa
mengetahui lembaga-lembaga pelaksana syariat islam di Aceh.
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Asal Nama
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh
Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë
Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang). Sebelumnya,
nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
2.2 Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Gampông
Gampông atau disebut kampung/keluarahan dalam
bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang
yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang
disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang
disebut Tuha Peut.
Mukim
Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan
setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah
mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim
didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk salat Jumat. Yang memimpin mesjid
disebut Teungku Imum Raja (Mesjid). Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu
oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.
Sagoë
Sagoë merupakan suatu sistem pemerintahan
setingkat kabupaten pada masa sekarang. Sebuah sagoë terdiri dari mukim-mukim
layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari kecamatan-kecamatan. Sebuah
sagoë dipimpin oleh hulubalang yang bergelar Teuku atau disebut Ampon.
Nanggroë
Nanggroë merupakan suatu sistem pemerintahan
setingkat [Negara] pada masa sekarang. Dalam bahasa Melayu, nanggroë disebut
dengan nama kenegerian. Sebuah nanggroë dipimpin oleh Wali Negara yang bergelar
[Paduka njang Mulia]. Namun hal ini sekarang tidaklah sejalan dengan sistem
hukum Indonesia sehingga wali nanggroë merupakan salah satu simbol kebudayaan
Aceh.
2.3 Letak Geografis Aceh
Provinsi Aceh terletak antara 01o 58'
37,2" - 06o 04' 33,6" Lintang Utara dan 94o 57' 57,6" - 98o 17'
13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan
laut. Pada tahun 2012 Provinsi Aceh dibagi menjadi 18 Kabupaten dan 5 kota,
terdiri dari 289 kecamatan, 778 mukim dan 6.493 gampong atau desa.
Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah
Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi
Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya
hubungan darat hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki
ketergantungan yang cukup tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara.
Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan
sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan
rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil
yaitu 3.928 ha.
Lokasi suaka alam/objek wisata alam di Provinsi
Aceh ada di sembilan lokasi, yaitu Taman Buru Linge Isaq, Cagar Alam Serbajadi,
Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Wisata dan Taman Laut Pulau Weh Sabang,
Cagar Alam Jantho, Hutan untuk Latihan Gajah (PLG), Taman Wisata Laut Kepulauan
Banyak, dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
2.4
Lembaga Adat Aceh
Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat,
pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian
masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat.
Lembaga adat
Aceh meliputi:
1.
Majelis
Adat Aceh;
2.
Imeum
Mukim
3.
Imeum Chik
4.
Keuchik
5.
Tuha Peut
6.
Tuha Lapan
7.
Imeum
Meunasah
8.
Keujreun
Blang
9.
Panglima
Laot
10.
Pawang
Glee
11.
Peutua
Peuneubok
12.
Haria
Peukan
13.
Syahbanda
Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan
sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan
pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan
ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh Lembaga
Adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
2.5 Sumber mata pencaharian masyarakat Aceh
Mata pencaharian Suku Aceh – Sebagian besar
penduduk suku Aceh hidup dari bercocok tanam. Namun sistem pengairan di
sawah-sawah belum teratur seperti di Jawa, sebagian besar masih bergantung pada
air hujan.
Penanaman padi hanya 1 kali dalam setahun
dengan pengolahan yang masih sederhana. Disamping bekerja di sawah, orang Aceh
biasa membuka ladang (huma) di tepi-tepi hutan secara berpindah-pindah,
sehingga banyak lahan yang tidak terurus lagi.
Selain bertani, penduduk suku Aceh sangat gemar
berdagang, terutama hasil bumi, hasil perkebunan dan hasil ikan laut. Sejak
jaman kuno Suku Aceh telah melakukan perdagangan dengan luar negeri dan
mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun
1607-1636, yang telah mampu bersaing dengan pedagang Eropa.
2.6 Adat Istiadat Aceh
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang
pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa
subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan
Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap etnis mempunyai adat istiadat yang
berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku di indonesia.
Diantaranya adalah:
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di
dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai
keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh
masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas
yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri),
pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum
pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan
upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki
pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya
diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat,
dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka
diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat
wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di
samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai
(mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a
(khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto
baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli
mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui,
maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro
dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu
duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara
baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara
baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai
dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah
seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah
pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya,
kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah
pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto
baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara
baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain
menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga
memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya
didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara
bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka
rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula
dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di
rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro
masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan
setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup
untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara
cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong
oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang
menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga
ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi
kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut
terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada
wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain
menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah
seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau
batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya
dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke
rumah.
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi.
Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh
dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang
biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti
masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging
(kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari
Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan
Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari.
Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang
menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi
atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan
kari kambing, dan sebagainya.[]
2.7 Lembaga Pelaksana Syariat Islam di Aceh
I. DINAS
SYARIAT ISLAM
Dinas Syariat
Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana syari’at
Islam di lingkungan Pemerintah DerahNanggroe Aceh Darussalam yang kedudukannya
berada di bawah Gubernur.
Dinas ini
dipimpin oleh seorang Kepala dinas yang berada dibawah dan bertanggung-jawab
kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Dinas Syariat
Islam mempunyai fungsi:
1. Sebagai pelaksana
tugas yang berhubungan dengan perencanaan,penyiapan kanun yang berhubungan
dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan
hasilhasilnya.
2. Pelaksanaan tugas
yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang
berhubungan denganpelaksanaan Syari’at Islam.
3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan
kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya
sertapenyemarakan syi’ar Islam
4. Pelaksanaan tugas
yang berhubungan dengan bimbingan danpengawasan terhadap pelaksanaan Syariat
Islam ditengah-tengahmasyarakat, dan
5. Pelaksanaan tugas
yang berhubungan bimbingan dan danpenyuluhan syari’at Islam.
Untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai
kewenangan:
1. Merencanakan
program penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
2. Melestarikan
nilai-nilai Islam.
3. Mengembangkan dan
membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah,
ibadah, mu’amalah, akhlak,pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi
munkar, baitulmal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam,
qadha,jinayat, munakahat dan mawaris.
4. Mengawasi terhadap
pelaksanaan syari’at Islam.
5. Membina dan
mengawasi terhadap Lembaga PengembanganTilawatil Qur’an (LPTQ).
II. WILAYATUL
HISBAH
Qanun tentang
penyelenggaraan syaria’at Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam
mengamanatkan pembentukan Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan yang melakukan
pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas pelanggaran syari’at Islam.
Mengenai
struktur, kewenangan ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan
peraturan lain yang diatur dalam qanun.
Dalam Fiqh WH merupakan satu badan pengawasan
yang bertugas melakukan amar Ma’rufnahi munkar, mengingatkan masyarakat
mengenai aturan-aturan syari’at, langkah yang harus mereka ambil untuk
menjalankan syari’at serta batas dimana orang-orang harus berhenti. Sebab kalau
mereka terus berbuat mereka akan dianggap melanggar ketentuan syari’at. Dalam
keadaan terpaksa atau sangat mendesak, WH diberi izin melakukan tindakan untuk
menghentikan pelanggaran serta melakukan tindakan yang dapat menghentikan upaya
pelanggaran atau sebaliknya mengarahkan orang-orang agar melakukan ajaran dan
perintah syari’at.
Dalam
Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh DarussalamNomor 01 Tahun 2004 Tentang
Organisasi dan tata cara Kerja
Wilayatul
Hisbah dalam Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa susunan organisasi Wilayatul
Hisbah, terdiri atas;
1. Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi;
2. Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota;
3. Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, dan
4. Wilayatul Hisbah Tingkat Kemukuman.
Susunan WH
Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan, terdiri atas ketua, wakil ketua
dan sekretaris sertamuhtasib, yang pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur,
Bupati/Walikota.
Mengenai
susunan WH tingkat kemukiman terdiri dari seorang koordinator dan beberapa
orang muhtasib, yang bertugas di gampong-gampong dan diangkat oleh
Bupati/Walikota dan pengangkatan muhtasib ini terlebih dahulu dikonsultasikan
terlebih dahulu kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) setempat.
Salah satu
definisi mengatakan bahwa WH merupakan kekuasaan kepolisian dan sampai batas tertentu peradilan (ringan)yang
berhubungan dengan persoalan moral, peribadatan dan sopan-santun pergaulan atau
bisa disebut juga dengan ketertiban umum.
Wilayatul
Hisbah menekankan pada ajaran untuk melakukan perbuatan baik (amar ma’ruf) dan
mencegah kemungkaran (nahi227 Pasal 3 ayat (1, 2 dan 3) Keputusan Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01Tahun 2004 Tentang Organisasi dan
tata cara Kerja Wilayatul Hisbah.munkar, untuk mengharap ridha Allah, bukan
untuk menjatuhkan hukuman dan sekedar ketertiban masyarakat. Jadi dimensi
moralnya relatif sangat menonjol.
Di dalam
Islam, dalil atau akar tentang keberadaan lembaga ini dimulai dengan beberapa
praktek yang terjadi dimasa Rasullullah SAW. Sebagian ulama merujuk peristiwa
penghancuran berhala-berhala disekitar Masjidil Haram dan kota Mekkah oleh
beberapa orang sahabat di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib setelah futuh
(penaklukan) Mekkah, serta penunjukan Said bin Ash sebagai pengawas pasar di
Madinah, yang bertugas menjaga dan memeriksa keakuratan alat timbangan dan
takaran keaslian uang yang digunakan serta perilaku dalam bertransaksi itu
sendiri.
Kejadian ini
digunakan sebagai salah satu dalil tentang adanya tugas pengawasan yang diemban
oleh lembaga Wilayatul Hisbah. Pada masa Khulafa’ur Rasyidin keberadaan
kegiatan pengawasan dan pencegahan pelanggaran Syari’at (amar ma’ruf nahimunkar)
semakin formal dan melembaga.
Terdapat
beberapa catatan mengenai hal ini, seperti kegiatan pengawasan yang dilakukan
Abubakar terhadap berbagai kegiatan di pasar.
Pada masa
Umar pemisahan kewenangan peradilan (umum) dengan Wilayatul Hisbah semakin
jelas, karena beliau menunjuk beberapa orang menjadi muhtasib (petugas
Wilayatul Hisbah) untuk mengawasi perilaku masyarakat dalam hal yang
berhubungan dengan ketertiban umum(kesalehan, kejujuran, kesopanan dan
sebagainya), yang sebagian daripadanya adalah perempuan (misalnya Umm Asy-
Syifa’).
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, bentuk yang
lebih sistematis dengan kewenangan yang semakin jelas, dimulai oleh salah
seorang khalifah Bani’ Abbas yaitu al Mahdi (159-169 H).
Dari uraian
di atas menunjukan bahwa mulai masa Khalifah inilah badan yang bertugasdan
diberi kewenagan menangani masalah Amar Ma’ruf Nahi Munkarini diberi nama
Wilayatul Hisbah, sedang para petugasnya diberi nama Muhtasih (Muhtasibah).
Kajian yang
khusus dan relatif sistematis tentang badan ini dan tugasnya ditemukan dalam
tulisan beberapa orang ulama fiqih siyasi mulai abad ke-III Hijriyah, antara
lain dalam tulisan al- Mawardi, al-Fairuzzabadi, Ibnu Tamimiah, Abu Ya’la dan
lain sebagainya.
Di dalam
sejarah badan ini tetap bertahan di berbagai pelosok dunia Islam, di berbagai
dinasti yang memerintah, dan boleh dikatakan baru terhapus ketika kekhalifahan
Bani Usman dari Turki(Turki Usmani) hancur dan kehilangan kekuasaan. Namun
begitu Wilayatul Hisbah sebagai lembaga sampai saat ini masih ditemukan
sekurang-kurangnya di dua negara, Arab Saudi dan Maroko.
Setelah
lembaga ini hilang, sebagian dari tugasnya menjadi tugas polisi (umum) sedang
sebagian lagi dianggap bukan tugas polisi, tetapi urusan moral pribadi atau
paling tinggi urusan tata kesopanan dan pergaulan yang pengawasannya diserahkan
pada masyarakat.
Selain
Wilayatul Hisbah dalam kitab fiqih (kitab-kitabassiyasatu-sy syar’iyyah)
dikenal dua badan lain yang mempunyai otoritas untuk penegakan hukum yaitu:
1. Wilayat-ul qadha,
yaitu lembaga
atau badan yang berwenangmenyelesaikan sengketa antara sesama rakyat
(sekaranglebih dikenal sebagai lembaga pengadilan atau badan arbitrase).
2. Wilayat-ul mazhalim,
yaitu lembaga
atau badan yang berwenang sengtketa antara pejabat (dalam hal penyalah-gunaan
jabatan) dengan rakyat, atau antara
bangsawan dengan rakyat biasa.
Kewenangan
ini biasanya dipegang langsung oleh
khalifah sebagai kepala negara (kepala pemerintahan), atau diserahkan kepada
gubernur, kepala suku, dsb.
Kewenangan
ini ada pada mereka karena para pejabat atau para bangsawan tersebut tidak mau
menghadap pengadilan, dan lebih dari itu sering pengadilan tidak mempunyai
cukup wewenang untuk memaksa menghukum mereka.
Sebagai
lembaga baru atau baru diperkenalkan di Aceh, lembaga yang terinspirasi dari
ketentuan dan keberadaannya dalam sejarah umat Islam di masa lalu.
Lembaga ini
sebenarnya mempunyai tugas dan kewenangan yang hampir sama dengan Polisi
Khusus, SatuanPolisi Pamong Praja (SATPOL PP) atau juga Penyidik Pegawai
NegeriSipil (PPNS).
Keberadaan
Wilayatul Hisbah sebagai pengawas dan pengontrol dicantumkan dalam beberapa
qanun. Sebagai mana,.dalam Perda No 5 Tahun 2000, dalam Bab VI (Tentang
Pengawasandan Penyidikan) Pasal 20 ayat (1) menyebutkan : ”Pemerintah daerah
berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol dan mengawasi (Wilayatul
Hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah inisehingga
dapat berjalan dengan sebaik-baiknya”.
Selain itu,
di dalam Qanun No. 11 Tahun 2002, dalam Pasal 14 (Bab VI, Pengawasan Penyidikan
dan Penuntutan), disebutkan bahwa :
(1) Untuk
terlaksananya syari’at Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam,
pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenangan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun ini.
(2) Wilayatul Hisbah
dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau
wilayah/lingkungan lainnya.
(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan
Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat
cukupalasan telah terjadinya pelanggaran terhadap qanun ini, maka pejabat
pengawas (Wilayatul Hisbah), diberi wewenang untuk menegur/menasehati si
pelanggar.
(4) Setelah upaya
menegur/menasehati dilakukan sesuaia dengan ayat(3) di atas, ternyata perilaku
si pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran
tersebut kepada pejabat penyidik.
(5) Susunan
organisasi, kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbahdiatur dengan keputusan
Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama).
Mengenai
tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah juga disebutkan dalam qanun No. 12 Tahun
2003 yang dalam Pasal 17 menyebutkan bahwa:
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan pejabat
Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 16 yang mengetahui
pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagai mana dimaksud dalam pasall 5
sampai Pasal 8, menyampaikan laporan tertulis kepada penyidik.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya,
Pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu
kepada pelaku sebelum menyerahkan laporan kepada penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul
Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan
peringatan dan pembinaan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2).
Selanjutnya
dalam Pasal 18 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada
mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak
ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangkawaktu 2
(dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. Sebagaimana kita lihat dalam
beberapa pasal yang terdapatdalam qanun-qanun di atas, Wilayatul Hisbah sebagai pelaksana awal dari
penegakan hukum syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam, dimana tugas dan
wewenangnya diatur secara jelas dalam beberapa kanun, sebagai implementasi dari
pelaksanaan syari’at Islam.
III. Lembaga Kepolisian
Lembaga
Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Lembaga
Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam rangka melaksanakan
syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lembaga
Kepolisian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam haruslah mengerti dan memahami
karakter kebiasaan dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Dalam Pasal
207 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh menyebutkan
bahwa seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik
Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan
ketentuan hukum, syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan
Gubernur Aceh. Dan ayat (4) penempatan bintara dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya dan adat istiadat.
Kepolisian
bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan pelanggaran
terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam hal ini
di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang untuk itu.
Dalam Pasal 1
ayat
(1) Keputusan Bersama
Gubernur, Kepala Kepolisian daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Mahkamah Syari’ah Provinsi, Ketua Pengadilan Tinggi dan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, menyatakan bahwa Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
mendidik, membina dan mengkoordinasikan operasional PPNS Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan menerima hasil penyidikan perkara pelanggaran qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, danmenerima hasil penyidikan dari PPNS (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil) yang selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada
kejaksaan atau Mahkamah Syari’ah.
(2) Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam membantu
melakukan penyidikkan terhadap perkarapelanggaran qanun-qanun di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
IV. Lembaga Kejaksaan.
Lembaga
Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yangberada di bawah naungan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, yangberada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan
bertugasmelaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukumtemasuk
pelaksanaan syari’at Islam.Wewenang jaksa di Nanggroe Aceh Darussalam sama
halnyadengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitumelakukan
penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggaryang melanggar ketentuan
pidana yang diatur dalam qanun danmelakukan eksekusi terhadap keputusan hakim
setelah mempunyaikekuatan hukum tetap.
V. Mahkamah Syari’ah
Undang-undang
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kelanjutan serta kesempurnaan
terhadap yang telah diatur oleh Undang-undang No. 44 tahun 1999, dalam
konsideranhuruf (c) disebutkan : ”bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu
diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Daerah Istimewa
Aceh Sebagaiprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Dalam Pasal
25 UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam juga disebutkan:
(1) Peradilan Syari’at Islam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalamsebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan
olehMahkamah Syari’ah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
(2) Kewenangan Mahkamah Syari’ah sebagaimana
yang dimaksuddalam ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum
nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada Pasal terserbut
jelas ada tambahan pada ”keistimewaan” Aceh.
Yakni, adanya lembaga peradilan khusus untuk
melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah Syari’ah sebagai lembaga peradilan
tingkat I dan Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat
banding.
Lembaga
(Mahkamah) inilah yang berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam
di Aceh baik tingkat I maupun tingkat banding.
Sedang untuk
kasasi tetap dilakukan oleh Mahkkamah Agung.
Demikian juga tentang sengketa kewenangan UU No. 18 Pasal 26 ayat (2)
yang berbunyi “Mahkamah Syari’ah untuk tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah
Agung RI”mengadili antara Mahkamah Syari’ah dengan lembaga peradilan lain.
Mengenai kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada
qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tentang
Peradilan Syari’at Islam yang diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal
49 menyebutkan bahwa perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum
kekeluargaan, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara
dibidang pidana yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai
kewenangan Mahkamah Syari’ah.
Sebagai
implementasian Undang-undang di atas, mengenai tugas dan wewenang Mahkamah
Syari’ah diatur dalam qanun tersendiri yakni Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang
Peradilan Syari’at Islam.
Dalam Pasal 2
ayat (1) :
disebutkan
bahwa Mahkamah Syari’ahadalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini
sertamelaksanakan syari’at Islam dalam wilayah Propinsi Nanggroe
AcehDarussalam,
dalam ayat
(2)
pelaksanaan
kewenangan MahkamahSyariah bebas dari pengaruh pihak manapun,
sedangkan
ayat (3)
dijelaskan
bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.
Pasal 27 UU
No. 18 Tahun 2001 Berbunyi “sengketa-sengketa antara Mahkamah Syari’ah dan
pengadilan dalam lingkungan peradilan lain, menjadi wewenang Mahkamah Agung RI
untuk tingkat pertama dan tingkat akhir”.
Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada diatur dengan UU No. 7 Tahun
1989, yang juga berwenang menangani perkara-perkara tertntu sesuai dengan hukum
syari’at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan,dan disesuaikan dengan maksud
UUNo. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi DaerahIstimewa Aceh
Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, agar tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan
Peradilan Syari’at Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian
hukum. Maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana
danprasarananya) yang telah ada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalamdialihkan
menjadi lembaga Peradilan Syari’at Islam.
Mahkamah
Syari’ah ini terdiri dari:
(1) Mahkamah Syari’ah sebagai pengadilan tingkat
pertama yang berkedudukan di masing-masing kabupaten/kota;
(2) Mahkamah Syariah Propinsi sebagai pengadilan
tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi.
BAB III : KESIMPULAN
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah,
termasuk minyak bumi dan gas alam.Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan
budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya
implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam
dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada
di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah
sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar