SELAMAT DATANG DI BLOG INI, BLOG TEMPAT BERBAGI ILMU

Jumat, 28 Oktober 2016

Biografi Provinsi Aceh


BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
1.2. Rumusan Masalah
1. Darimana asal nama Aceh?
2. Bagaimana sistem pemerintahan local Aceh?
3. Dimana letak Geografis Provinsi Aceh?
4. Lembaga adat apasaja yang ada di Provinsi Aceh?
5. Apa sumber mata pencaharian masyarakat Provinsi Aceh?
6. Bagaimana adat istiadat di provinsi Aceh
7. Apasaja lembaga-lembaga pelaksana Syariat Islam di Aceh?
1.3. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui asal nama Aceh.
2. Mahasiswa mengetahui sistem kepemerintahannya.
3. Mahasiswa mengetahui letak Geografis Provinsi Aceh.
4. Mahasiswa mengetahui Lembaga adat yang ada di Provinsi Aceh.
5. Mahasiswa mengetahui sumber mata pencaharian masyarakat Provinsi Aceh.
6. Mahasiswa mengetahui adat istiadat provinsi Aceh.
7. Mahasiswa mengetahui lembaga-lembaga pelaksana syariat islam di Aceh.

BAB II  : PEMBAHASAN

2.1 Asal Nama
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang). Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
2.2  Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Gampông
Gampông atau disebut kampung/keluarahan dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut.

Mukim
Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk salat Jumat. Yang memimpin mesjid disebut Teungku Imum Raja (Mesjid). Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.
Sagoë
Sagoë merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kabupaten pada masa sekarang. Sebuah sagoë terdiri dari mukim-mukim layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari kecamatan-kecamatan. Sebuah sagoë dipimpin oleh hulubalang yang bergelar Teuku atau disebut Ampon.
Nanggroë
Nanggroë merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat [Negara] pada masa sekarang. Dalam bahasa Melayu, nanggroë disebut dengan nama kenegerian. Sebuah nanggroë dipimpin oleh Wali Negara yang bergelar [Paduka njang Mulia]. Namun hal ini sekarang tidaklah sejalan dengan sistem hukum Indonesia sehingga wali nanggroë merupakan salah satu simbol kebudayaan Aceh.
2.3 Letak Geografis Aceh
Provinsi Aceh terletak antara 01o 58' 37,2" - 06o 04' 33,6" Lintang Utara dan 94o 57' 57,6" - 98o 17' 13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2012 Provinsi Aceh dibagi menjadi 18 Kabupaten dan 5 kota, terdiri dari 289 kecamatan, 778 mukim dan 6.493 gampong atau desa.
Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara.
Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha.
Lokasi suaka alam/objek wisata alam di Provinsi Aceh ada di sembilan lokasi, yaitu Taman Buru Linge Isaq, Cagar Alam Serbajadi, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Wisata dan Taman Laut Pulau Weh Sabang, Cagar Alam Jantho, Hutan untuk Latihan Gajah (PLG), Taman Wisata Laut Kepulauan Banyak, dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.



2.4 Lembaga Adat Aceh
Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat.
Lembaga adat Aceh meliputi:
      1.       Majelis Adat Aceh;
      2.       Imeum Mukim
      3.       Imeum Chik
      4.       Keuchik
      5.       Tuha Peut
      6.       Tuha Lapan
      7.       Imeum Meunasah
      8.       Keujreun Blang
      9.       Panglima Laot
    10.   Pawang Glee
    11.   Peutua Peuneubok
    12.   Haria Peukan
    13.   Syahbanda
Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh Lembaga Adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.

2.5 Sumber mata pencaharian masyarakat Aceh
Mata pencaharian Suku Aceh – Sebagian besar penduduk suku Aceh hidup dari bercocok tanam. Namun sistem pengairan di sawah-sawah belum teratur seperti di Jawa, sebagian besar masih bergantung pada air hujan.
Penanaman padi hanya 1 kali dalam setahun dengan pengolahan yang masih sederhana. Disamping bekerja di sawah, orang Aceh biasa membuka ladang (huma) di tepi-tepi hutan secara berpindah-pindah, sehingga banyak lahan yang tidak terurus lagi.
Selain bertani, penduduk suku Aceh sangat gemar berdagang, terutama hasil bumi, hasil perkebunan dan hasil ikan laut. Sejak jaman kuno Suku Aceh telah melakukan perdagangan dengan luar negeri dan mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1636, yang telah mampu bersaing dengan pedagang Eropa.

2.6 Adat Istiadat Aceh
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku di indonesia. Diantaranya adalah:
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.[]
2.7 Lembaga Pelaksana Syariat Islam di Aceh
I. DINAS SYARIAT ISLAM
Dinas Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana syari’at Islam di lingkungan Pemerintah DerahNanggroe Aceh Darussalam yang kedudukannya berada di bawah Gubernur.
Dinas ini dipimpin oleh seorang Kepala dinas yang berada dibawah dan bertanggung-jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.

Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
1. Sebagai pelaksana tugas yang berhubungan dengan perencanaan,penyiapan kanun yang berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasilhasilnya.
2. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan denganpelaksanaan Syari’at Islam.
3.  Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya sertapenyemarakan syi’ar Islam
4. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan danpengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam ditengah-tengahmasyarakat, dan
5. Pelaksanaan tugas yang berhubungan bimbingan dan danpenyuluhan syari’at Islam.

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan:
1. Merencanakan program penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
2. Melestarikan nilai-nilai Islam.
3. Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak,pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar, baitulmal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam, qadha,jinayat, munakahat dan mawaris.
4. Mengawasi terhadap pelaksanaan syari’at Islam.
5. Membina dan mengawasi terhadap Lembaga PengembanganTilawatil Qur’an  (LPTQ).


II. WILAYATUL HISBAH 
Qanun tentang penyelenggaraan syaria’at Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam mengamanatkan pembentukan Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas pelanggaran syari’at Islam.
Mengenai struktur, kewenangan ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan peraturan lain yang diatur dalam qanun.

 Dalam Fiqh WH merupakan satu badan pengawasan yang bertugas melakukan amar Ma’rufnahi munkar, mengingatkan masyarakat mengenai aturan-aturan syari’at, langkah yang harus mereka ambil untuk menjalankan syari’at serta batas dimana orang-orang harus berhenti. Sebab kalau mereka terus berbuat mereka akan dianggap melanggar ketentuan syari’at. Dalam keadaan terpaksa atau sangat mendesak, WH diberi izin melakukan tindakan untuk menghentikan pelanggaran serta melakukan tindakan yang dapat menghentikan upaya pelanggaran atau sebaliknya mengarahkan orang-orang agar melakukan ajaran dan perintah syari’at.

Dalam Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh DarussalamNomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja

Wilayatul Hisbah dalam Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa susunan organisasi Wilayatul Hisbah, terdiri atas;
1.       Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi;
2.       Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota;
3.       Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, dan
4.       Wilayatul Hisbah Tingkat Kemukuman.

Susunan WH Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan, terdiri atas ketua, wakil ketua dan sekretaris sertamuhtasib, yang pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota.

Mengenai susunan WH tingkat kemukiman terdiri dari seorang koordinator dan beberapa orang muhtasib, yang bertugas di gampong-gampong dan diangkat oleh Bupati/Walikota dan pengangkatan muhtasib ini terlebih dahulu dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) setempat.
Salah satu definisi mengatakan bahwa WH merupakan kekuasaan kepolisian dan sampai  batas tertentu peradilan (ringan)yang berhubungan dengan persoalan moral, peribadatan dan sopan-santun pergaulan atau bisa disebut juga dengan ketertiban umum.

Wilayatul Hisbah menekankan pada ajaran untuk melakukan perbuatan baik (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi227 Pasal 3 ayat (1, 2 dan 3) Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja Wilayatul Hisbah.munkar, untuk mengharap ridha Allah, bukan untuk menjatuhkan hukuman dan sekedar ketertiban masyarakat. Jadi dimensi moralnya relatif sangat menonjol.

Di dalam Islam, dalil atau akar tentang keberadaan lembaga ini dimulai dengan beberapa praktek yang terjadi dimasa Rasullullah SAW. Sebagian ulama merujuk peristiwa penghancuran berhala-berhala disekitar Masjidil Haram dan kota Mekkah oleh beberapa orang sahabat di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib setelah futuh (penaklukan) Mekkah, serta penunjukan Said bin Ash sebagai pengawas pasar di Madinah, yang bertugas menjaga dan memeriksa keakuratan alat timbangan dan takaran keaslian uang yang digunakan serta perilaku dalam bertransaksi itu sendiri.

Kejadian ini digunakan sebagai salah satu dalil tentang adanya tugas pengawasan yang diemban oleh lembaga Wilayatul Hisbah. Pada masa Khulafa’ur Rasyidin keberadaan kegiatan pengawasan dan pencegahan pelanggaran Syari’at (amar ma’ruf nahimunkar) semakin formal dan melembaga.

Terdapat beberapa catatan mengenai hal ini, seperti kegiatan pengawasan yang dilakukan Abubakar terhadap berbagai kegiatan di pasar.

Pada masa Umar pemisahan kewenangan peradilan (umum) dengan Wilayatul Hisbah semakin jelas, karena beliau menunjuk beberapa orang menjadi muhtasib (petugas Wilayatul Hisbah) untuk mengawasi perilaku masyarakat dalam hal yang berhubungan dengan ketertiban umum(kesalehan, kejujuran, kesopanan dan sebagainya), yang sebagian daripadanya adalah perempuan (misalnya Umm Asy- Syifa’).
 Setelah masa Khulafaur Rasyidin, bentuk yang lebih sistematis dengan kewenangan yang semakin jelas, dimulai oleh salah seorang khalifah Bani’ Abbas yaitu al Mahdi (159-169 H).

Dari uraian di atas menunjukan bahwa mulai masa Khalifah inilah badan yang bertugasdan diberi kewenagan menangani masalah Amar Ma’ruf Nahi Munkarini diberi nama Wilayatul Hisbah, sedang para petugasnya diberi nama Muhtasih (Muhtasibah).

Kajian yang khusus dan relatif sistematis tentang badan ini dan tugasnya ditemukan dalam tulisan beberapa orang ulama fiqih siyasi mulai abad ke-III Hijriyah, antara lain dalam tulisan al- Mawardi, al-Fairuzzabadi, Ibnu Tamimiah, Abu Ya’la dan lain sebagainya.
Di dalam sejarah badan ini tetap bertahan di berbagai pelosok dunia Islam, di berbagai dinasti yang memerintah, dan boleh dikatakan baru terhapus ketika kekhalifahan Bani Usman dari Turki(Turki Usmani) hancur dan kehilangan kekuasaan. Namun begitu Wilayatul Hisbah sebagai lembaga sampai saat ini masih ditemukan sekurang-kurangnya di dua negara, Arab Saudi dan Maroko.
Setelah lembaga ini hilang, sebagian dari tugasnya menjadi tugas polisi (umum) sedang sebagian lagi dianggap bukan tugas polisi, tetapi urusan moral pribadi atau paling tinggi urusan tata kesopanan dan pergaulan yang pengawasannya diserahkan pada masyarakat.

Selain Wilayatul Hisbah dalam kitab fiqih (kitab-kitabassiyasatu-sy syar’iyyah) dikenal dua badan lain yang mempunyai otoritas untuk penegakan hukum yaitu:

1.       Wilayat-ul qadha,
yaitu lembaga atau badan yang berwenangmenyelesaikan sengketa antara sesama rakyat (sekaranglebih dikenal sebagai lembaga pengadilan atau badan arbitrase).

2.       Wilayat-ul mazhalim,
yaitu lembaga atau badan yang berwenang sengtketa antara pejabat (dalam hal penyalah-gunaan jabatan) dengan rakyat, atau antara  bangsawan  dengan rakyat biasa.
Kewenangan ini  biasanya dipegang langsung oleh khalifah sebagai kepala negara (kepala pemerintahan), atau diserahkan kepada gubernur, kepala suku, dsb.
Kewenangan ini ada pada mereka karena para pejabat atau para bangsawan tersebut tidak mau menghadap pengadilan, dan lebih dari itu sering pengadilan tidak mempunyai cukup wewenang untuk memaksa menghukum mereka.
Sebagai lembaga baru atau baru diperkenalkan di Aceh, lembaga yang terinspirasi dari ketentuan dan keberadaannya dalam sejarah umat Islam di masa lalu.

Lembaga ini sebenarnya mempunyai tugas dan kewenangan yang hampir sama dengan Polisi Khusus, SatuanPolisi Pamong Praja (SATPOL PP) atau juga Penyidik Pegawai NegeriSipil (PPNS).

Keberadaan Wilayatul Hisbah sebagai pengawas dan pengontrol dicantumkan dalam beberapa qanun. Sebagai mana,.dalam Perda No 5 Tahun 2000, dalam Bab VI (Tentang Pengawasandan Penyidikan) Pasal 20 ayat (1) menyebutkan : ”Pemerintah daerah berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol dan mengawasi (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah inisehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya”.
Selain itu, di dalam Qanun No. 11 Tahun 2002, dalam Pasal 14 (Bab VI, Pengawasan Penyidikan dan Penuntutan), disebutkan bahwa :

(1) Untuk terlaksananya syari’at Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam, pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun ini.
(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah/lingkungan lainnya.
(3)  Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukupalasan telah terjadinya pelanggaran terhadap qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah), diberi wewenang untuk menegur/menasehati si pelanggar.
(4) Setelah upaya menegur/menasehati dilakukan sesuaia dengan ayat(3) di atas, ternyata perilaku si pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.
(5) Susunan organisasi, kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbahdiatur dengan keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama).

Mengenai tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah juga disebutkan dalam qanun No. 12 Tahun 2003 yang dalam Pasal 17 menyebutkan bahwa:
(1)   Dalam melaksanakan fungsi pengawasan pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagai mana dimaksud dalam pasall 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan tertulis kepada penyidik.
(2)  Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporan kepada penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2).
Selanjutnya dalam Pasal 18 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangkawaktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. Sebagaimana kita lihat dalam beberapa pasal yang terdapatdalam qanun-qanun di atas,  Wilayatul Hisbah sebagai pelaksana awal dari penegakan hukum syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam, dimana tugas dan wewenangnya diatur secara jelas dalam beberapa kanun, sebagai implementasi dari pelaksanaan syari’at Islam.

III.  Lembaga Kepolisian
Lembaga Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lembaga Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam rangka melaksanakan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lembaga Kepolisian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam haruslah mengerti dan memahami karakter kebiasaan dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam Pasal 207 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang  Pemerintahan  Aceh menyebutkan bahwa seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh. Dan ayat (4) penempatan bintara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan hukum,  syari’at Islam, budaya dan adat istiadat.

Kepolisian bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang untuk itu.
Dalam Pasal 1 ayat

(1) Keputusan Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi,  Ketua Mahkamah Syari’ah Provinsi,  Ketua Pengadilan Tinggi dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menyatakan bahwa Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mendidik, membina dan mengkoordinasikan operasional PPNS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan menerima hasil penyidikan perkara pelanggaran qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, danmenerima hasil penyidikan dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan atau Mahkamah Syari’ah.
(2)  Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam membantu melakukan penyidikkan terhadap perkarapelanggaran qanun-qanun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

IV.  Lembaga Kejaksaan.
Lembaga Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yangberada di bawah naungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yangberada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan bertugasmelaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukumtemasuk pelaksanaan syari’at Islam.Wewenang jaksa di Nanggroe Aceh Darussalam sama halnyadengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitumelakukan penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggaryang melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam qanun danmelakukan eksekusi terhadap keputusan hakim setelah mempunyaikekuatan hukum tetap.

V.  Mahkamah Syari’ah
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kelanjutan serta kesempurnaan terhadap yang telah diatur oleh Undang-undang No. 44 tahun 1999, dalam konsideranhuruf  (c) disebutkan  : ”bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagaiprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Dalam Pasal 25 UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam juga disebutkan:

(1)  Peradilan Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamsebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan olehMahkamah Syari’ah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
(2)    Kewenangan Mahkamah Syari’ah sebagaimana yang dimaksuddalam ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(3)    Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada Pasal terserbut jelas ada tambahan pada ”keistimewaan” Aceh.
Yakni,  adanya lembaga peradilan khusus untuk melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah Syari’ah sebagai lembaga peradilan tingkat I dan Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding.
Lembaga (Mahkamah) inilah yang berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam di Aceh baik tingkat I maupun tingkat banding.
Sedang untuk kasasi tetap dilakukan oleh Mahkkamah Agung.  Demikian juga tentang sengketa kewenangan UU No. 18 Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi “Mahkamah Syari’ah untuk tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung RI”mengadili antara Mahkamah Syari’ah dengan lembaga peradilan lain. Mengenai kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tentang Peradilan Syari’at Islam yang diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syari’ah.
Sebagai implementasian Undang-undang di atas, mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Syari’ah diatur dalam qanun tersendiri yakni Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.
Dalam Pasal 2 ayat (1) :
disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ahadalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini sertamelaksanakan syari’at Islam dalam wilayah Propinsi Nanggroe AcehDarussalam,

dalam ayat (2)
pelaksanaan kewenangan MahkamahSyariah bebas dari pengaruh pihak manapun,

sedangkan ayat (3)
dijelaskan bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.

Pasal 27 UU No. 18 Tahun 2001 Berbunyi “sengketa-sengketa antara Mahkamah Syari’ah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain, menjadi wewenang Mahkamah Agung RI untuk tingkat pertama dan tingkat akhir”.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada diatur dengan UU No. 7 Tahun 1989, yang juga berwenang menangani perkara-perkara tertntu sesuai dengan hukum syari’at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan,dan disesuaikan dengan maksud UUNo. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi DaerahIstimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, agar tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum. Maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana danprasarananya) yang telah ada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalamdialihkan menjadi lembaga Peradilan Syari’at Islam.

Mahkamah Syari’ah ini terdiri dari:
(1)  Mahkamah Syari’ah sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di masing-masing kabupaten/kota;
(2)  Mahkamah Syariah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi.

BAB III : KESIMPULAN
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam.Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.



REFERENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar